BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS ?

Selasa, 22 September 2009

Parah !!! habis Lebaran tempat prostitusi buka lagi


Ana buat tread ini sebagai gambaran kehidupan di indonesia yang semakin miris saja..Bagaimana tidak,setelah membersihkan diri di bulan Ramadhan ehh ternyata eh ternyata tempat pelacuran sudah buka lagi,dapat infonya dari Trans7 nih..So..langsung kepikiran untuk menyelidiki sedikit dan hasilnya dikembalikan kepada teman sekalian silahkan menilai dari perspektif masing-masing..

Pelacuran

Pelacuran atau prostitusi adalah penjualan jasa seksual, seperti oral seks atau hubungan seks, untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK).

Dalam pengertian yang lebih luas, seseorang yang menjual jasanya untuk hal yang dianggap tak berharga juga disebut melacurkan dirinya sendiri, misalnya seorang musisi yang bertalenta tinggi namun lebih banyak memainkan lagu-lagu komersil. Di Indonesia pelacur sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau sundel. Ini menunjukkan bahwa prilaku perempuan sundal itu sangat begitu buruk hina dan menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak ketertiban, Mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum. Pekerjaan melacur atau nyundal sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa kemasa. Sundal selain meresahkan juga mematikan, karena merekalah yang ditengarai menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku sex bebas tanpa pengaman bernama kondom.

yang di atas itu baru pengertian dari pelacuran lalu sejarahnya di indonesia gimana?

sejarah pelacuran di Indonesia dapat dirunut mulai dari masa kerajaan-kerajaan Jawa, di mana perdagangan perempuan di pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal (Hull; 1997:1-22). Dua kerajaan yang sangat lama berkuasa di Jawa berdiri tahun 1755 ketika kerajaan Mataram terbagi dua menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanana Yogyakarta. Mataram merupakan kerajaan Islam Jawa yang terletak di sebelah selatan Jawa Tengah. Pada masa itu, konsep kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia (binatara). Kekuasaan raja Mataram sangat besar. Mereka seringkali dianggap menguasai segalanya, tidak hanya tanah dan harta benda, tetapi juga nyawa hamba sahaya. Anggapan ini apabila dikaitkan dengan eksistensi perempuan saat ini mempunyai arti tersendiri.

Raja mempunyai kekuasaan penuh. Seluruh yang ada di atas Jawa, bumi dan seluruh kehidupannya, termasuk air, rumput, daun, dan segala sesuatunya adalah milik raja. Tugas raja pada saat itu adalah menetapkan hukum dan menegakkan keadilan; dan semua orang diharuskan mematuhinya tanpa terkecuali. Kekuasaan raja yang tak terbatas ini juga tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang selir tersebut adalah puteri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lagi merupakan persembahan dari kerajaan lain, ada juga selir yang berasal dari lingkungan keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana.

Sebagian selir raja ini dapat meningkat statusnya karena melahirkan anak-anak raja. Perempuan yang dijadikan selir tersebut berasal dari daerah tertentu yang terkenal banyak mempunyai perempuan cantik dan memikat. Reputasi daerah seperti ini masih merupakan legenda sampai saat ini. Koentjoro (1989:3) mengidentifikasi 11 kabupaten di Jawa yang dalam sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan; dan sampai sekarang daerah tersebut masih terkenal sebagai sumber wanita pelacur untuk daerah kota. Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan di Jawa Barat; Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah; serta Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan di Jawa Timur. Kecamatan Gabus Wetan di Indramayu terkenal sebagai sumber pelacur; dan menurut sejarah daerah ini merupakan salah satu sumber perempuan muda untuk dikirim ke istana Sultan Cirebon sebagai selir. (Hull, at al. 1997:2).

Makin banyaknya selir yang dipelihara, menurut Hull, at al. (1997:2) bertambah kuat posisi raja di mata masyarakat. Dari sisi ketangguhan fisik, mengambil banyak selir berarti mempercepat proses reproduksi kekuasaan para raja dan membuktikan adanya kejayaan spiritual. Hanya raja dan kaum bangsawan dalam masyarakat yang mempunyai selir. Mempersembahkan saudara atau anak perempuan kepada bupati atau pejabat tinggi merupakan tindakan yang didorong oleh hasrat untuk memperbesar dan memperluas kekuasaan, seperti tercermin dari tindakan untuk memperbanyak selir. Tindakan ini mencerminkan dukungan politik dan keagungan serta kekuasaan raja. Oleh karena itu, status perempuan pada zaman kerajaan Mataram adalah sebagai upeti (barang antaran) dan sebagai selir.

Perlakuan terhadap perempuan sebagai barang dagangan tidak terbatas hanya di Jawa, kenyataan juga terjadi di seluruh Asia, di mana perbudakan, sistem perhambaan dan pengabdian seumur hidup merupakan hal yang biasa dijumpai dalam sistem feodal. Di Bali misalnya, seorang janda dari kasta rendah tanpa adanya dukungan yang kuat dari keluarga, secara otomatis menjadi milik raja. Jika raja memutuskan tidak mengambil dan memasukkan dalam lingkungan istana, maka dia akan dikirim ke luar kota untuk menjadi pelacur. Sebagian dari penghasilannya harus diserahkan kepada raja secara teratur (ENI, dalam Hull; 1997:3).

Bentuk industri seks yang lebih terorganisasi berkembang pesat pada periode penjajahan Belanda (Hull; 1997:3). Kondisi tersebut terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan seks masyarakat Eropa. Umumnya, aktivitas ini berkembang di daerah-daerah sekitar pelabuhan di Nusantara. Pemuasan seks untuk para serdadu, pedagang, dan para utusan menjadi isu utama dalam pembentukan budaya asing yang masuk ke Nusantara.

Dari semula, isu tersebut telah menimbulkan banyak dilema bagi penduduk pribumi dan non-pribumi. Dari satu sisi, banyaknya lelaki bujangan yang dibawa pengusaha atau dikirim oleh pemerintah kolonial untuk datang ke Indonesia, telah menyebabkan adanya permintaan pelayanan seks ini. Kondisi tersebut ditunjang pula oleh masyarakat yang menjadikan aktivitas memang tersedia, terutama karena banyak keluarga pribumi yang menjual anak perempuannya untuk mendapatkan imbalan materi dari para pelanggan baru (para lelaki bujangan) tersebut. Pada sisi lain, baik penduduk pribumi maupun masyarakat kolonial menganggap berbahaya mempunyai hubungan antar ras yang tidak menentu. Perkawinan antar ras umumnya ditentang atau dilarang, dan perseliran antar ras juga tidak diperkenankan. Akibatnya hubungan antar ras ini biasanya dilaksanakan secara diam-diam. Dalam hal ini, hubungan gelap (sebagai suami-istri tapi tidak resmi) dan hubungan yang hanya dilandasi dengan motivasi komersil merupakan pilihan yang tersedia bagi para lelaki Eropa. Perilaku kehidupan seperti ini tampaknya tidak mengganggu nilai-nilai sosial pada saat itu dan dibiarkan saja oleh para pemimpin mereka. (Hull; 1997:4).

Situasi pada masa kolonial tersebut membuat sakit hati para perempuan Indonesia, karena telah menempatkan mereka pada posisi yang tidak menguntungkan secara hukum, tidak diterima secara baik dalam masyarakat, dan dirugikan dari segi kesejahteraan individu dan sosial. Maka sekitar tahun 1600-an, pemerintah mengeluarkan peraturan yang melarang keluarga pemeluk agama Kristen mempekerjakan wanita pribumi sebagai pembantu rumah tangga dan melarang setiap orang mengundang perempuan baik-baik untuk berzinah. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apa dan mana yang dimaksud dengan perempuan “baik-baik”. Pada tahun 1650, “panti perbaikan perempuan” (house of correction for women) didirikan dengan maksud untuk merehabilitasi para perempuan yang bekerja sebagai pemuas kebutuhan seks orang-orang Eropa dan melindungi mereka dari kecaman masyarakat. Seratus enam belas tahun kemudian, peraturan yang melarang perempuan penghibur memasuki pelabuhan “tanpa izin” menunjukkan kegagalan pelaksanaan rehabilitasi dan juga sifat toleransi komersialisasi seks pada saat itu (ENOI, dalam Hull; 1997:5).

Tahun 1852, pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang menyetujui komersialisasi industri seks tetapi dengana serangkaian aturan untuk menghindari tindakan kejahatan yang timbul akibat aktivitas prostitusi ini. Kerangka hukum tersebut masih berlaku hingga sekarang. Meskipun istilah-istilah yang digunakan berbeda, tetapi hal itu telah memberikan kontribusi bagi penelaahan industri seks yang berkaitan dengan karakteristik dan dialek yang digunakan saat ini. Apa yang dikenal dengan wanita tuna susila (WTS) sekarang ini, pada waktu itu disebut sebagai “wanita publik” menurut peraturan yang dikeluarkan tahun 1852. Dalam peraturan tersebut, wanita publik diawasi secara langsung dan secara ketat oleh polisi (pasal 2). Semua wanita publik yang terdaftar diwajibkan memiliki kartu kesehatan dan secara rutin (setiap minggu) menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi adanya penyakit syphilis atau penyakit kelamin lainnya (pasal 8, 9, 10, 11).

Jika seorang perempuan ternyata berpenyakit kelamin, perempuan tersebut harus segera menghentikan praktiknya dan harus diasingkan dalam suatu lembaga (inrigting voor zieke publieke vrouwen) yang didirikan khusus untuk menangani perempuan berpenyakit tersebut. Untuk memudahkan polisi dalam menangani industri seks, para wanita publik tersebut dianjurkan sedapat mungkin melakukan aktivitasnya di rumah bordil. Sayangnya peraturan perundangan yang dikeluarkan tersebut membingungkan banyak kalangan pelaku di industri seks, termasuk juga membingungkan pemerintah. Untuk itu pada tahun 1858 disusun penjelasan berkaitan dengan peraturan tersebut dengan maksud untuk menegaskan bahwa peraturan tahun 1852 tidak diartikan sebagai pengakuan bordil sebagai lembaga komersil. Sebaliknya rumah pelacuran diidentifikasikan sebagai tempat konsultasi medis untuk membatasi dampak negatif adanya pelacuran. Meskipun perbedaan antara pengakuan dan persetujuan sangat jelas bagi aparat pemerintah, tapi tidak cukup jelas bagi masyarakat umum dan wanita publik itu sendiri. (Hull; 1997:5-6).

Dua dekade kemudian tanggung jawab pengawasan rumah bordil dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Peraturan pemerintah tahun 1852 secara efektif dicabut digantikan dengan peraturan penguasa daerah setempat. Berkaitan dengan aktivitas industri seks ini, penyakit kelamin merupakan persoalan serius yang paling mengkhawatirkan pemerintah daerah. Tetapi terbatasnya tenaga medis dan terbatasnya alternatif cara pencegahan membuat upaya mengurangi penyebaran penyakit tersebut menjadi sia-sia (ENOI dalam Hull; 1997:6).

Pengalihan tanggung jawab pengawasan rumah bordil ini menghendaki upaya tertentu agar setiap lingkungan permukiman membuat sendiri peraturan untuk mengendalikan aktivitas prostitusi setempat. Di Surabaya misalnya, pemerintah daerah menetapkan tiga daerah lokalisasi di tiga desa sebagai upaya untuk mengendalikan aktivitas pelacuran dan penyebaran penyakit kelamin. Selain itu, para pelacur dilarang beroperasi di luar lokalisasi tersebut. Semua pelacur di lokalisasi ini terdaftar dan diharuskan mengikuti pemeriksaan kesehatan secara berkala (Ingleson dalam Hull; 1997:6).

Tahun 1875, pemerintah Batavia (kini Jakarta), mengeluarkan peraturan berkenaan dengan pemeriksaan kesehatan. Peraturan tersebut menyebutkan, antara lain bahwa para petugas kesehatan bertanggung jawab untuk memeriksa kesehatan para wanita publik. Para petugas kesehatan ini pada peringkat kerja ketiga (tidak setara dengan eselon III zaman sekarang yaitu kepala biro pada organisasi pemerintahan) mempunyai kewajiban untuk mengunjungi dan memeriksa wanita publik pada setiap hari Sabtu pagi. Sedangkan para petugas pada peringkat lebih tinggi (peringkat II) bertanggung jawab untuk mengatur wadah yang diperuntukkan bagi wanita umumnya yang sakit dan perawatan lebih lanjut. Berdasarkan laporan pada umumnya meskipun telah dikeluarkan banyak peraturan, aktivitas pelacuran tetap saja meningkat secara drastis pada abad ke-19, terutama setelah diadakannya pembenahan hukum agraria tahun 1870, di mana pada saat itu perekonomian negara jajahan terbuka bagi para penanam modal swasta (Ingleson dalam Hull; 1997:6).

Perluasan areal perkebunan terutama di Jawa Barat, pertumbuhan industri gula di Jawa Timur dan Jawa Tengah, pendirian perkebunan-perkebunan di Sumatera dan pembangunan jalan raya serta jalur kereta api telah merangsang terjadinya migrasi tenaga kerja laki-laki secara besar-besaran. Sebagian besar dari pekerja tersebut adalah bujangan yang akan menciptakan permintaan terhada aktivitas prostitusi. Selama pembanguna kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Cilacap, Yogyarakta dan Surabaya tahun 1884, tak hanya aktivitas pelacuran yang timbul untuk melayani para pekerja bangunan di setiap kota yang dilalui kereta api, tapi juga pembangunan tempat-tempat penginapan dan fasilitas lainnya meningkat bersamaan dengan meningkatnya aktivitas pembangunan konstruksi jalan kereta api. Oleh sebab itu dapat dimengerti mengapa banyak kompleks pelacuran tumbuh di sekitar stasiun kereta api hampir di setiap kota. Contohnya di Bandung, kompleks pelacuran berkembang di beberapa lokasi di sekitar stasiun kereta api termasuk Kebonjeruk, Kebontangkil, Sukamanah, dan Saritem.

Hull juga menambahkan, (1997:7) di Yogyakarta, kompleks pelacuran didirikan di daerah Pasarkembang, Balongan, dan Sosrowijayan. Di Surabaya, kawasan pelacuran pertama adalah di dekat Stasiun Semut dan di dekat pelabuhan di daerah Kremil, Tandes, dan Bangunsari. Sebagian besar dari kompleks pelacuran ini masih beroperasi sampai sekarang, meskipun peranan kereta api sebagai angkutan umum telah menurun dan keberadaan tempat-tempat penginapan atau hotel-hotel di sekitar stasiun kereta api juga telah berubah.

*)) Ditulis oleh :

Wakhudin. 2006. Proses Terjadinya Degradasi Nilai Moral pada Pelacur dan Solusinya (Thesis). Bandung: Program Studi Pendidikan Umum. Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/08/24/sekilas-sejarah-pelacuran-di-indonesia/

Terus kalo sekarang gimana ?

Berbicara tentang pelacuran di Indonesia sekarang tidak dapat terlepas dari gang dolly :

Dolly atau Gang Dolly adalah nama sebuah kawasan lokalisasi pelacuran yang terletak di daerah Jarak, Pasar Kembang, Kota Surabaya, Jawa Timur, Indonesia. Di kawasan lokalisasi ini, wanita penghibur "dipajang" di dalam ruangan berdinding kaca mirip etalase.

Konon lokalisasi ini adalah yang terbesar di Asia Tenggara lebih besar dari Phat Pong di Bangkok, Thailand dan Geylang di Singapura. Bahkan pernah terjadi kontroversi untuk memasukkan Gang Dolly sebagai salah satu daerah tujuan wisata Surabaya bagi wisatawan mancanegara.

http://id.wikipedia.org/wiki/Dolly,_Surabaya

Akhir dekade 1960, tersebutlah nama Dolly Khavit. Dia membeli sebidang lahan di Kota Surabaya, Jawa Timur, dan mendirikan daerah lokalisasi yang kini dikenal sebagai Gang Dolly.Gang Dolly adalah tempat lokalisasi pelacuran yang berada di surabaya yang bertempat di daerah jarak,pasar kembang.Lokalisasi yang diperkirakan terbesar se asia tenggara itu dulunya dikelola oleh Tante Dolly, seorang perempuan keturunan belanda ketika pemerintah belanda menginvasi kota surabaya.Di sudut kota surabaya ini mempunyai 898 wisma prostitusi dengan 8000 orang perempuan penggoda yang tiap duduk berjejer di etalase kaca untuk menunggu pelanggan yang akan memboking.

Banyak sekali orang yang menentang keberadaan gang dolly tetapi dengan adanya gang dolli ternyata bisa memberi penghidupan biaya warga setempat,untuk membuka bisnis seperti warung, tempat parkir & persewaan kamar mandi. Pada saat bulan Puasa ini, perekonomian menipis/macet karena banyak usaha warga setempat adalah bisnis yang mendukung keberadaan rumah bordil itu.

Gang dolly ditutup pada saat bulan puasa dan banyak pekerjanya pulang kampung dengan dikawal para body guard dengan menyewa sebuah bis. itulah wajah lain dari kota surabaya, yang sesungguhnya bukan sepatutnya di banggakan, tetapi keberadaan tersebut sudah diakui dalam peta maupun tata kota pemkot, bahkan dalam ruang lingkup internasional.

Pandangan agama tentang pelacuran

Soffa Ihsan
Penulis buku In The Name of Sex
soffa-ikhsan

Dibutuhkan manajemen khusus untuk mengatur pelacuran yang semakin meluas. Hal ini ditujukan untuk mewujudkan tertib sosial yang dalam pandangan fiqh merupakan bentuk kemashlahatan umat.

Demikian kesimpulan pandangan penulis buku In The Name of Sex, Soffa Ihsan, saat memberikan pandangannya dalam diskusi ushul fiqh progresif bertema Pandangan Islam terhadap Pekerja Seks Komersial, di Kantor Wahid Institute Jl. Duren Tiga Raya No. 4 Kalibata Jakarta, Jum’at (20/5/05). Selain Soffa, pembicara yang rutin hadir adalah Abdul Moqsith Ghazali, Kepala Madrasah Ushul Fiqh Progresif The Wahid Institute.

Menurut Soffa, banyak individu yang menjadi pelacur tidak hanya karena faktor himpitan ekonomi, tapi juga karena unsur life style (gaya hidup).

“Sebelumya saya mengasumsikan, pelacuran di Indonesia terjadi karena faktor ekonomi dan keterpaksaan. Setelah saya meneliti ke sana, ternyata realitas itu tidak sepenuhnya begitu,” tambah Soffa.

Harus diakui, tambah Soffa, bahwa realitas pelacuran sudah seumur dengan peradaban manusia. “Tidak ada dalam sejarah, peradaban manusia yang berhasil menghapus pelacuran.”

Karena semakin banyak individu yang terlibat dalam profesi ini, maka agama -dalam hal ini Islam- juga harus memiliki jawaban.

“Apakah dengan hanya bercuap-cuap atau berkhutbah, lalu melakukan perbuatan vandalisme (perusakan) terhadap tempat pelacuran, maka masalah pelacuran dapat diselesaikan?” tanya Soffa.

Soffa berharap para ulama melakukan istinbath atau mengeksplorasi hukum-hukum agama tentang persoalan ini. Seperti Abu Hanifah yang menyatakan bahwa pekerjaan atau profesi pelacur memang haram/dilarang, tetapi hasilnya halal.

Pandangan itu berdasarkan penilaian Abu Hanifah, bahwa konsekuensi hukum hanya terkait dengan perbuatan mukallaf (orang yang harus menjalankan hukum syari'ah). Sedang hasil dari perbuatan itu tidak ada kaitan dengan hukum.

“Saya tidak tahu, apakah pandangan itu lahir karena Abu Hanifah sudah bingung menghadapi pelacuran waktu itu,” tanya Soffa.

Oleh sebab itu, kata Soffa, untuk mengatasi pelacuran yang sudah meluas ini yang dibutuhkan adalah manajemen khusus, yaitu dengan melegalisasi profesi pelacuran.

“Ini legalisasi pada tataran manajemen profesi pelacur, bukan pada legalisasi perzinaannya,” tegas Soffa.

Dari legalisasi itu dapat dibuat regulasi yang mengatur tentang tarif, pajak, perlindungan hukum dan daerah operasi pelacur.

Selain itu, kata Soffa, adanya regulasi akan semakin mempersempit kesenjangan ekonomi. “Sangat mudah mendapat uang dengan menjadi pelacur, satu jam bisa 150 ribu. Sementara pekerja biasa atau pekerja kasar lainnya tidak bisa seperti itu. Sehingga gadis-gadis tidak gampang terhipnotis menjadi pelacur.”

Soffa menilai adanya regulasi pelacuran ini adalah suatu kewajiban. Pandangan itu, kata Soffa, berkaitan dengan kaidah fiqh ma la yatimmu al-wajib illa bih fahuwa wajib (suatu unsur yang mengantarkan pada kewajiban adalah wajib).

Maksudnya, menegakkan kemaslahatan adalah kewajiban. Namun kemaslahatan hanya bisa tegak, jika ada penegakan tertib sosial. Karena itu, tertib sosial menjadi sesuatu yang wajib ditegakkan.

“Dengan membuat regulasi untuk profesi pelacuran akan tercipta tertib sosial yang akan menghasilkan mashalih ‘ammah (kemaslahatan umum),” jelas Soffa.

Soffa menilai regulasi terhadap profesi pelacur itu dapat diambil dari fiqh karena fiqh Islam sangat kaya. “Sangat sesuai dengan konteks dan fiqh bukan hukum yang mati. Dan memang banyak hal yang terkait dengan fiqh.” tegas Soffa.

Terlepas dari pendapat di atas Pelacuran dalam pandangan Islam adalah haram hukumnya.

Sekarang tergantung bagaimana anda memaknainya..

Selamatkan moral negriku!!!

0 komentar: